Pengalaman....
Kalau bicara pengalaman, apalagi tentang budaya Cina, dan Tiong Hoa, saya termasuk orang yang termasuk mempunyai pengalaman yang rendah ketimbang senior senior, tapi saya berusaha membagi apa yang telah saya rasakan dan saya alami dari pengalaman saya.
Tiong Hoa dan saya memang tidak jauh. Ayah saya adalah keturunan Jawa asli, serta Ibu saya adalah keturunan Jawa dan Tiong Hoa. Kakek dari ibu saya memiliki darah Jawa dan Tiong Hoa, namun nenek dari ibu saya memang tiong hoa.
Sejak kecil, setiap malam tahun baru Imlek, kami dan keluarga besar selalu berkumpul di rumah nenek yang berada di pecinan Kota Pekalongan yang letaknya memang tidak jauh dari Klenteng Po An Thian Pekalongan hanya untuk berkumpul, dan makan bersama, bercanda, dan juga bersenda gurau. Ketika esokan harinya, kami sekeluarga besar saling Pai Cia atau memberikan penghormatan kepada yang lebih tua "Selamat Tahun Baru Imlek" dan meminta maaf atas kesalahan setahun yang telah dilakukan. Perayaan tahun baru Imlek di keluargaku memang tidak sekental keluarga tiong hoa murni lainnya. Mungkin jika di keluarga tiong hoa lain, mereka bersama-sama ke klenteng untuk bersembahyang, makan Sam Jan (Daging, Ikan, dan Unggas) dan lain-lain. Tetapi, keluarga kami tidak meninggalkan tradisi tersebut, karena tradisi tersebut bisa mengumpulkan kita semua dan kita bisa menceritakan semua yang terjadi di antara kita.
Tiong Hoa tidak bisa lepas dari Klenteng. Jika kita melihat Klenteng, kita pasti langsung berfikiran Tiong Hoa, jika berfikir tiong hoa pasti sipit, kalo sipit, berarti yang ada di klenteng. Terus-terusan seperti itu jika orang awam berfikir. Orang selain tiong hoa yang masih menganut agama leluhur dan juga orang pribumi dan selain tiong hoa, mayoritas beranggapan bahwa Klenteng merupakan tempat ibadah berhala, menyembah banyak dewa, dan lain sebagainya. Kadang malah ada suatu aliran agama yang tidak bisa disebutkan namanya melanggar para umatnya untuk melintas depan klenteng, karena klenteng merupakan tempat pemujaan setan. Saya sebagai orang tiong hoa-pribumi, tidak bisa membiarkan ini terus-terusan terjadi.
Di negara kita menganut sistem Ketuhanan yang Monoteisme, yang menyembah pada Tuhan yang Satu. Klenteng juga demikian. Terlihat sekali jika di Koran, TV, dan media lainnya bahwa orang Tiong Hoa yang beragama leluhurnya seperti hanya menyembah dan memohon kepada patung buatan manusia. Sebenarnya itu adalah paham orang selain orang 'klenteng' yang tidak tahu dan tidak suka atas orang tiong hoa lalu membuat kesan bahwa orang 'klenteng' adalah orang yang dinamisme dan animisme.
Perlu diketahui, sistem persembahyangan di klenteng di Indonesia, yang saya tahu, semuanya mempunyai altar utama dan altar Thian (Tuhan Yang Maha Kuasa). Sebelum umat bersembahyang ke altar utama yang ada patung-patung dewa dan dewi, umat sangatlah diwajibkan bersembhyang kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa) dan lalu kemudian dilanjutkan ke dewa tuan rumah dari sebuah klenteng.
Klenteng merupakan tempat ibadah agama rakyat Tiong Hoa sebelum Khong Hu Cu, Buddha, dan Tao ada. Di dalam klenteng, ada patung-patung dewa yang tersusun rapi di atas altar. Seringkali kita melihat umat bersembahyang di depan patung seperti patunglah yang hanya bisa mengabulkan doa. Namun, sekali lagi tidak demikian. Patung merupakan hanyalah perantara dan perwakilan dari umat dan dewa yang dituju. Selain itu, arca / patung tersebut bisa menimbulkan kesan khusyuk kepada umatnya bahwa dewa masih ada di hadapannya. Namun, sekali lagi, perlu diketahui, dewa atau dewi yang ada di klenteng tidak bisa mengabulkan doa dari umat jika Tuhan Yang Maha Kuasa tidak mengijinkan, maka dari itu, di setiap kelenteng ada altar pertama, yaitu Altar Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa agama klenteng, bukanlah agama penyembah setan, dinamisme, maupun animisme. Tuhan yang umat 'kelenteng' sembah sama dengan Tuhan yang saya sembah dan pembaca sembah. Allah SWT, Tuhan Allah, Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Hyang Adi Buddha, Thian, merupakan tujuan orang beragama di Indonesia.
Perlu pembaca ketahui dan ingat, semua agama mengajarkan segala hal yang baik dan menyuruh kita menjauhi yang buruk. Namun, kita juga harus ingat, jika kita ingin menarik simpati dan empati dari umat agama lain dan ingin menarik umat agama lain tersebut menjadi umat agama anda, pembaca dan umat agama pembaca harus berkelakuan baik dan terus menerus taat kepada Tuhan. Hakikatnya, manusia tidak akan suka kepada segala hal yang meresahkan dirinya. Jika ada yang meresahkan kepada dirinya, dia akan menjauh, namun, jika ada yang membuatnya nyaman, dia akan mendekat dan berlindung agar bertambah nyaman.
Mari, sebagai umat Tuhan dari agama manapun, telah diajarkan untuk menghargai dan menghormati sesama, tidak ada salahnya jika kita menjadi umat yang rendah hati, dan tidak sombong atas apa yang kita yakini, kita harus mengharagai dan menghormati umat agama lain. Saya bukannya orang yang alay dan lebay, namun jujur, saya pernah menangis, ketika Gereja Katolik Santo Petrus Pekalongan, Klenteng Po An Thian Pekalongan dan Masjid Al-Ikhlas Pekalongan yang berada di dalam satu kawasan, bersama-sama membunyikan bunyi-bunyian khas dari ketiganya. Masjid dengan Bacaan Al-Qur'an, Gereja dengan Loncengnya, dan Klenteng dengan Bedug dan Lonceng khas Cina. Sangat senang dan bahagia rasanya jika di kawasan dan lingkungan kita aman tenteram dan damai ketika tidak melihat dan mendengar adanya pertengkaran yang mengatas-namakan Tuhan.
Manusia Tidak Sendirian di Dunia Ini
Tapi di Jalan Setapaknya Masing-Masing
Tiap Manusia Berjalan Sendirian
Berjalan, Berlari, dan Sesekali Berhenti
Semua Jalan Setapak Itu Berbeda-Beda
Namun Menuju ke Arah yang Sama
Dengan Satu Tujuan yang Sama
Hingga Semakin Dekat ke Tujuan, Manusia Semakin Menyadari
Bahwa di Jalan Setapak yang Sudah Dilewati, Ia Tak Akan pernah Benar-Benar Sulit
Manusia Selalu Bersama Apa Yang Dia Cari
Bersama Tujuannya
yaitu, TUHAN.
~ ? ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar